Tip:
Highlight text to annotate it
X
Ada satu pertanyaan yang akhir-akhir ini mengusik saya.
Pertanyaan itu adalah: masih perlukah kita beragama?
Mengapa pertanyaan ini muncul?
Lihat saja disekeliling kita.
Atas nama agama, orang mau membunuh sesama.
Atas nama agama, orang rela menyakiti sesama.
Atas nama agama, orang mau menipu sesama.
Agama tidak lagi menjadi inspirasi, untuk membangun moralitas,
dan membangun spiritualitas dalam diri kita.
Bahkan agama telah menjadi berhala yang disembah.
Saya dibesarkan dalam sebuah keluarga yang amat kuat memegang nilai-nilai agama.
Diibesarkan dalam pesantren yang sangat tradisional.
Anda tau, waktu kecil saya dianjarkan bahwa suara itu adalah akal.
Saya ingat waktu saya waktu kecil di SD (Sekolah Dasar),
saya juara Nusabaqah Tilawatil Quran se-Kabupaten.
Begitu naik ke Sanawiah, SMP (Sekolah Menengah Umum) istilahnya.
Kakek saya mengatakan, "kamu tidak bisa lagi ikut Nusabaqah, kamu sudah membuka aurat".
Tapi waktu itu saya menerima apa adanya, karena saya pikir itulah agama.
Kalau tidak, mungkin sekarang saya bisa jadi Nusabaqah international.
Lalu di keluarga, saya diajarkan nilai-nilai agama yang ditoleran.
Saya dilarang bergaul dengan orang-orang yang berbeda agama.
Saya ingat saya punya tetangga, chinnese beragama kristen.
Setiap kali saya bermain dengan dia dan kembali kerumah, kakek saya mengatakan
"kamu harus mandi, karena kamu sudah bersentuhan dengan najis".
Itu saya alami dan waktu itu saya menganggap itu adalah kebenaran agama.
Tetapi kemudian ada 2 hal yang membuat saya berubah total.
Pertama, adalah faktor pendidikan. Beruntung saya memperoleh kesempatan untuk
mendapatkan pendidikan yang mengedepankan nilai-nilai rasional,
yang mengedepankan nilai-nilai kritis didalam memahami agama.
Tetapi pendidikan itu baru ada di tingkat paskasarjana.
Berapa banyak diantara kita yang bisa sampai ke sana.
Lalu juga pengalaman berkeliling keberbagai negara, khususnya negara-negara islam.
Itu mengajarkan pengalaman yang luar biasa kepada saya.
Pertama kali saya ke tanah suci. Saya melihat orang melakukan shalat berbeda-beda caranya.
Shalatnya saja ekspresinya berbeda-beda. Bahkan saya melihat hanya yang dari Indonesia,
dari Brunei, dari Thailand selatan dan dari Malaysia yang menggunakan mukena
yang kita pakai untuk shalat. Di tempat lain tidak begitu.
Lalu ketika saya ke Mesir, menyelesaikan disertasi saya.
Saya semakin mendapatkan pengalaman yang luar biasa.
Pertama kali naik taksi di Kairo, sopirnya itu memakai serban. Memutar lagu-lagu gambus Arab.
Lalu saya bertanya, "??? muslim? ??? alhamdulillah."
[penonton tertawa]
Berarti saya yang muslim ini tidak "alhamdulillah" ***?
Trus kata suami saya, "kamu sih nanya-nanya segala"
Lalu saya pikir, pakaian jilbab itu adalah identik dengan muslimat
Saya heran sekali melihat perempuan-perempuan kristen coptic
Mereka menggunakan jilbab sama dengan saya
"Wah tidak salah nih" Saya katakan begitu
Lalu saya Cyprus, Syria, saya menemukan perempuan-perempuan kristen orthodox
juga menggunakan busana jilbab.
"oh kalau begitu bukan milik monopoli umat islam saja"
Lalu kemudian saya ke Perancis selatan, eh juga orang katolik itu kalau ke gereja,
karena disitu ada komunitas katolik yang masih tradisional, masih orthodox,
juga kalau ke gereja itu menggunakan tutup kepala.
Wah ternyata ini adalah gejala universal dibanyak peradaban, dan dibanyak wilayah.
Pengalaman-pengalaman inilah kemudian ketika saya kembali ke Indonesia tahun 1998,
lalu saya dan teman-teman mendirikan ICRP (Indonesian Conference on the Religion and Peace).
Dengan moto utama "religion for peace", bahwa mari kita menyuarakan
pesan-pesan agama untuk satu tujuan, yaitu membangun perdamaian.
Apa yang kami lakukan di organisasi ini?
Ada 3 hal, yang pertama kami melakukan upaya-upaya rekonstruksi budaya.
Berusaha mengubah budaya itoleran menjadi budaya toleran.
Mengubah budaya kekerasan menjadi budaya damai. Melalui apa?
Kami masih percaya pada pendidikan. Melalui pendidikan dalam arti yang seluas-luasnya.
Kami membuat modul-modul pendidikan untuk orang tua.
Bagaimana mereka mulai mendidik anak-anak mereka, nilai-nilai toleransi,
nilai-nilai perdamaian, kasih sayang.
Jadi pendidikan agama yang diajarkan orang tua di rumah adalah nilai,
bukan lebih kepada ritual, bukan kepada hafalan-hafalan.
Karena kalau anda tau bagaimana pendidikan agama kita pada tingkat yang bawah.
Lebih banyak syarat kepada hafalan, sehingga yang stres bukan hanya anaknya,
tetapi orang tuanya. Orang tuanya juga tidak hafal.
[penonton tertawa]
Lalu setelah di rumah tangga, di sekolah formal. Dan di sekolah-sekolah non-formal.
Kebetulan kami punya juga sekolah agama, yang disana diajarkan untuk berbagi agama.
Terutama akan menjadikan ??? dan juga sejarah penemuan agama.
Sehingga mereka mengerti, kadang-kadang karena tidak tau lalu kita tidak menghargai sesama.
Lalu yang kedua adalah, kami melakukan upaya-upaya yang kami sebut dengan reform.
Mengevaluasi peraturan-peraturan di negara kita, baik tingkat nasional maupun ditingkat daerah.
Dan melakukan upaya-upaya advokasi kepada pemerintah agar supaya
menghilangan semua peraturan, semua kebijakan yang diskriminatif terhadap kelompok minoritas.
Salah satu aturan itu adalah, bahwa pemerintah kita hanya mengadopsi 6 agama.
Ya, sebelumnya hanya 5 agama. Tahun 2006 Kong Hu Cu masuk.
Nah agama-agama lain yang tumbuh dan berkembang di Indonesia.
Ada banyak sekali, ada ??? ada Tao, ada Sii, ada Yahudi,
dan juga ada ratusan agama-agama lokal.
Itu tidak mendapatkan pelayanan sipil yang memadai dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kami melakukan upaya-upaya supaya semua orang punya kebebasan untuk
mengekspresikan agama mereka, di dalam KTP (Kartu Tanda Penduduk) mereka.
Karena juga ada di Indonesia ini, setiap orang punya KTP,
dan dalam KTP harus ada agama, begitu pentingnya agama.
Tetapi temen-temen ??? harus menuliskan agama islam di dalam KTP mereka.
Kenapa? Karena kalau ditulis ???. Saya pernah mengantar teman saya ya seorang perempuan.
Mengambil KTP di Kelurahan. Ketika dia ditanya oleh pak Lurah.
"Agama?". Lalu kata pak Lurah, "Bu ??? itu tidak ada di dalam formulir"
[penonton tertawa]
Anda mungkin heran ya kalau mengatakan teman-teman saya yang ada di Surabaya,
di Manado, itu dalam KTP nya ditulis islam.
Karena mereka tidak boleh menulis yahudi di dalam KTP.
Pertanyaannya adalah, "pentingkah agama di dalam KTP?"
Ketika kami lakukan upaya-upaya re integritasi ajaran agama. Mengapa ini penting?
Karena ajaran agama yang banyak tersosialisasi di masyarakat,
adalah ajaran agama yang tidak akomodatif terhadap nilai-nilai kemanusiaan.
Yang tidak, terutama terhadap isu-isu perempuan. Yang tidak ??? terhadap perempuan.
Karena itu kami mencoba menambahkan berbagai interpretasi, ingat interpretasi!
Karena seringkali kita tidak bisa membedakan, mana agama yang merupakan wahyu dari tuhan.
Yang sifatnya itu absolut, sakral. Dan mana interpretasi yang sifatnya buatan manusia, produk manusia.
Dan itu adalah relatif, dan bisa berubah. Kan itu ada dua hal yang berbeda.
Lalu apa yang kami lakukan adalah, menawarkan perubahan-perubahan dalam interpretasi agama.
Sehingga orang bisa beragama secara damai. Mungkinkah itu?
Beberapa pengalaman ingin saya bagi.
Saya sering sekali dalam kegiatan-kegiatan keagamaan,
berada dalam satu kamar dengan orang yang berbeda agama.
Suatu ketika saya berada dalam satu kamar dengan seorang pendeta dari Budha,
yaitu seorang bikuni.
Pada waktu subuh, saya bangun untuk shalat subuh.
Dan dia juga bangun untuk melakukan meditasi.
Melakukan ritual dengan cara kami masing-masing, setelah itu kami berdiskusi..
Ya dengan cara yang.. Perasaannya tuh luar biasa, betapa indahnya bisa berdiskusi,
berdialog dengan orang yang berbeda agama. Tetapi juga tidak kehilangan rasa hormat,
tidak kehilangan rasa empati. Indah sekali rasanya ya, setelah subuh,
sambil minum teh didalam kamar kami berdiskusi dan berbincang
terhadap banyak hal yang terkait dengan ajaran agama kita masing-masing.
Suatu ketika kami juga berada bersama pendeta dari Cekoslovakia.
Selama 3 hari dalam suatu forum WCRC (World Conference on Religion and Peace) di Amar.
Waktu itu musim dingin.
Sang pendeta ini rupanya memperhatikan gerak gerik saya selama 2 hari.
Di hari ketiga itu ternyata dia baru bercerita tentang hal yang hakiki dengan saya.
Jadi sambil berbaring di tempat tidur, dia mengatakan kepada saya.
"Saya melihat kamu begitu susahnya ya dalam beragama!"
"Maksudnya?"
"Kamu pulang dari acara…" Kebetulan kita pulang jam 9, itu udara dingin.
Dia hanya cuci muka, langsung tidur. Kalau saya karena kewajiban harus melakukan shalat,
karena saya harus jamak, shalat magrib dan isya.
Karena saya dibesarkan di kalangan NU (Nahdatul Ulama),
saya itu tidak biasa kalau pakai tayamum, harus pakai air.
Padalah mustinya boleh saja.
Dia melihat saya, "ini kok orang kasihan amat" gitu ya. "beragama kok jadi susah" gitu ya.
Shalat panjang gitu ya, sudah begitu subuh jam 5 meskipun saya mengendap-endap
supaya dia tidak terganggu kebelakang untuk shalat subuh.
Lalu dia mengatakan begini..
"andai kata, diakhirat nanti ternyata semua yang kamu lakukan itu,
tidak itu yang diinginkan oleh tuhan mu. Lalu apakah kamu menyesal?"
Lalu saya pikir-pikir.. "Benar juga ya"
[penonton tertawa]
Tapi saya mengatakan, "oh saya melakukan itu bukan karena terpaksa,
yaitu adalah sebuah rasa yang membangun damai".
Oleh karena itu saya mengatakan, "tidak masalah"
Nah hal-hal yang seperti ini lah yang sebenarnya yang ingin saya bagi kepada anda semuanya.
Mudah-mudahan perasaan damai ini juga bisa terbangun juga dalam diri anda semua,
dan kita bisa membangun peradaban yang lebih baik,
dan agama sungguh-sungguh menjadi inspirasi damai.
Terima kasih
[penonton bertepuk tangan]