Tip:
Highlight text to annotate it
X
Translator: Antonius Yudi Sendjaja Reviewer: Yustina Suryanti
Saat berusia 11 tahun,
saya ingat suatu pagi saya terbangun karena sorakan gembira di rumah.
Ayah saya mendengarkan siaran BBC
dengan radio abu-abu kecilnya.
Tidak seperti biasa, ada senyuman di wajahnya
karena kebanyakan berita yang ada membuatnya murung.
"Taliban sudah pergi!" kata ayah saya.
Saya tidak tahu maksudnya
namun saya dapat melihat kalau ayah benar-benar gembira.
"Kau dapat pergi ke sekolah sungguhan," katanya.
Pagi yang tidak akan pernah saya lupakan.
Sekolah sungguhan.
Anda tahu, saat Taliban mengambil alih kekuasaan, usia saya 6 tahun
dan mereka melarang anak perempuan untuk bersekolah.
Jadi selama 5 tahun berikutnya, saya berpakaian seperti anak laki-laki
untuk mengantar kakak perempuan saya, yang dilarang keluar seorang diri,
untuk pergi ke sekolah rahasia.
Itulah satu-satunya cara kami untuk mendapat pendidikan.
Setiap hari, kami melalui jalan yang berbeda
sehingga tidak ada yang curiga akan tujuan kami.
Kami menutupi buku-buku sekolah dengan kantong belanja
sehingga akan terlihat kalau kami pergi berbelanja.
sekolah itu ada di sebuah rumah
di mana lebih dari 100 orang dijejalkan dalam ruang keluarga kecil.
Sangat nyaman di musim dingin namun sangat panas di musim panas.
Kami semua tahu kalau nyawa kami terancam --
para guru, para siswa, dan juga orang tua kami.
Ada saatnya ketika sekolah tiba-tiba diliburkan
selama seminggu karena kecurigaan Taliban.
Kami selalu penasaran apa yang mereka tahu tentang kami.
Apakah kami diikuti?
Apakah mereka tahu di mana kami tinggal?
Kami merasa takut,
namun kami tetap ingin pergi bersekolah.
Saya sangat beruntung karena memiliki keluarga
yang menghargai pendidikan dan anak perempuan.
Kakek saya adalah orang yang luar biasa di jamannya.
Kakek adalah orang aneh dari provinsi terpencil di Afganistan
yang bersikeras bahwa putrinya, ibu saya
harus pergi ke sekolah sehingga kakek tidak diakui oleh ayahnya.
Akhirnya ibu saya yang terdidik menjadi seorang guru.
Inilah ibu saya.
Ibu pensiun 2 tahun yang lalu untuk mengubah rumah kami
menjadi sekolah bagi kaum perempuan di lingkungan kami.
Dan ayah saya -- itu dia --
adalah orang pertama di keluarganya yang mendapat pendidikan.
Tidak perlu dipertanyakan lagi bahwa anak-anaknya
akan menerima pendidikan, termasuk putrinya,
walaupun beresiko, walaupun ada Taliban.
Bagi ayah, resiko jika putrinya tidak berpendidikan lebih besar lagi.
Saya ingat selama Taliban berkuasa
ada saat di mana saya benar-benar merasa frustrasi dan takut dalam hidup
serta tidak dapat melihat masa depan.
Saya ingin berhenti,
namun ayah saya
akan berkata,
"Dengar, anakku,
kau bisa kehilangan semua yang kau miliki dalam hidup.
Uangmu bisa dicuri. Kau bisa dipaksa untuk meninggalkan rumah selama perang.
Namun satu hal yang selalu akan bersamamu
adalah apa yang ada di sini,
dan walaupun harus menjual darah kami untuk membayar uang sekolahmu,
kami bersedia.
Jadi apa kamu masih tidak ingin melanjutkannya?"
Kini saya berusia 22 tahun.
Saya dibesarkan di negara yang telah hancur
karena perang selama puluhan tahun.
Perempuan seusia saya yang menamatkan Sekolah Menengah Atas kurang dari 6 persen,
dan jika keluarga saya tidak berkomitmen pada pendidikan,
saya akan menjadi salah satunya.
Namun, kini saya berdiri sebagai lulusan dari Middelbury College.
(Tepuk tangan)
Saat kembali ke Afganistan, kakek saya,
orang yang diasingkan karena berani mendidik putrinya,
menjadi salah satu orang pertama yang memberikan selamat.
Dia tidak hanya menyombongkan gelar saya,
namun juga berkata bahwa saya adalah
perempuan pertama
yang menyetir mobil untuknya melalui jalanan kota Kabul.
(Tepuk tangan)
Keluarga saya percaya pada saya.
Saya memiliki mimpi yang besar, namun mimpi keluarga saya lebih besar lagi.
Karena itulah saya menjadi duta global untuk 10x10,
sebuah kampanye global untuk mendidik perempuan.
Karena itulah saya mendirikan SOLA,
sekolah berasrama pertama, dan mungkin satu-satunya
bagi perempuan di Afganistan,
sebuah negara di mana masih beresiko bagi perempuan untuk bersekolah.
Hal yang menyenangkan adalah saya melihat siswa di sekolah saya
sangat ambisius dalam mengambil kesempatan.
Dan saya melihat orang tua dan ayah mereka
yang, seperti ayah saya, mendukung mereka,
walaupun menghadapi pertentangan yang menakutkan.
Seperti Ahmed, bukan nama sebenarnya,
dan saya tidak dapat menunjukkan wajahnya,
namun Ahmed adalah ayah dari salah seorang siswa saya.
Kurang dari satu bulan yang lalu, dia dan putrinya
sedang dalam perjalanan dari SOLA ke desanya,
dan mereka hampir terbunuh
karena bom di jalanan.
Saat dia tiba di rumah, teleponnya berbunyi
dan ada yang mengancamnya
bahwa jika dia mengirimkan putrinya ke sekolah kembali
mereka akan mencoba membunuhnya lagi.
"Bunuh saya sekarang, jika kau mau," katanya,
"namun saya tidak akan menghancurkan masa depan putri saya
karena pikiranmu yang kuno dan terbelakang."
Apa yang saya sadari tentang Afganistan
dan hal ini sering ditepis oleh dunia barat
yaitu di belakang kebanyakan dari kami yang sukses
ada seorang ayah, yang mengakui putrinya sangat berharga
dan melihat sukses putrinya juga merupakan suksesnya.
Kami tidak mengatakan bahwa ibu kami tidak menjadi kunci kesuksesan kami.
Sebenarnya mereka sering menjadi juru runding pertama yang meyakinkan
akan masa depan putri mereka yang cerah,
namun dalam konteks masyarakat seperti di Afganistan,
kami harus mendapat dukungan dari kaum pria.
Di bawah Taliban, perempuan yang pergi bersekolah
yang jumlahnya ratusan --
ingat, ini perbuatan terlarang.
Namun kini lebih dari 3 juta perempuan di Afganistan pergi bersekolah.
(Tepuk tangan)
Afganistan terlihat sangat berbeda dari Amerika.
Saya melihat orang Amerika melihat kelemahan dalam perubahan,
saya khawatir perubahan ini tidak akan berlangsung
setelah penarikan mundur pasukan Amerika.
Namun saat saya kembali ke Afganistan,
saat saya melihat para siswa di sekolah saya
bersama orang tua yang sangat mendukung mereka,
yang mendorong mereka, saya melihat masa depan yang menjanjikan
dan perubahan yang abadi.
Bagi saya, Afganistan adalah negara yang penuh dengan harapan dan kesempatan
dan setiap harinya
para siswa di SOLA mengingatkan saya akan hal itu.
Sama seperti saya, mereka memiliki miimpi yang besar.
Terima kasih.
(Tepuk tangan)