Tip:
Highlight text to annotate it
X
Translator: Ranny Andayani Reviewer: Dewi Barnas
Pada banyak masyarakat patriarkis dan komunitas tradisional,
ayah biasanya dikenal karena anak laki-laki mereka,
tapi saya adalah satu dari beberapa ayah
yang dikenal karena anak perempuannya,
dan saya bangga karenanya.
(Tepuk tangan)
Malala mulai melakukan kampanye pendidikan
dan berjuang untuk hak-haknya pada tahun 2007,
dan ketika upayanya itu diberi penghargaan pada tahun 2011,
dia menerima penghargaan nasional pemuda pencetus perdamaian,
dan Malala menjadi sangat terkenal,
gadis yang terkenal dari negaranya.
Sebelumnya,dia adalah anak perempuan saya,
tapi sekarang saya adalah ayahnya.
Bapak-bapak dan Ibu-ibu,
jika kita melihat sekilas sejarah manusia,
kisah tentang perempuan
adalah kisah tentang ketidak-adilan,
ketidak-setaraan,
kekerasan dan eksploitasi.
Anda tahu,
dalam masyarakat patriarkis,
dari awal,
ketika seorang anak perempuan lahir,
kelahirannya tidak dirayakan.
Dia tidak disambut,
baik oleh ayah maupun ibunya.
Para tetangga yang datang
akan bersimpati dengan si ibu,
dan tidak ada yang memberi selamat kepada sang ayah.
Dan sang ibu merasa sangat tidak nyaman
memiliki seorang anak perempuan.
Ketika dia melahirkan anak perempuan pertama,
anak perempuan pertamanya, dia bersedih.
Ketika melahirkan anak perempuan kedua,
dia sangat terkejut,
dan karena mengharapkan anak laki-laki,
ketika melahirkan anak perempuan ketiga,
dia merasa bersalah seperti seorang kriminal.
Tidak hanya sang ibu yang menderita,
tapi si anak perempuan, yang baru saja dilahirkan,
ketika dia tumbuh besar,
dia juga menderita.
Pada usia lima tahun,
saat dia seharusnya bersekolah,
dia tinggal di rumah
dan saudara laki-lakinya bersekolah.
Sampai usia 12 tahun, entah bagaimana,
dia mempunyai kehidupan yang baik.
Dia bisa bersenang-senang.
Dia bisa bermain dengan teman-temannya di jalanan,
dan dia bisa berlarian di jalanan
bagai kupu-kupu.
Tapi ketika dia menginjak usia remaja,
ketika dia mencapai usia 13 tahun,
dia dilarang keluar rumah
tanpa ditemani keluarga laki-laki.
Dia dikurung di balik keempat dinding rumahnya.
Dia bukan lagi seorang individu bebas.
Dia harus menjaga yang disebut"kehormatan"
ayah dan saudara-saudara laki-lakinya
dan keluarganya,
dan jika dia melanggar
peraturan yang disebut kehormatan itu,
dia bahkan bisa dibunuh.
Juga menarik bahwa peraturan
yang disebut kehormatan ini
tidak hanya berdampak pada kehidupan anak perempuan,
tapi juga berdampak pada kehidupan
anggota laki-laki dari keluarga itu.
Saya kenal sebuah keluarga beranggotakan tujuh anak perempuan dan satu laki-laki,
dan anak laki-laki satu-satunya itu,
dia pindah ke negara Timur Tengah,
untuk menghidupi ketujuh saudara perempuannya
dan orang tuanya,
karena dia berpikir bahwa akan memalukan
jika ketujuh saudara perempuannya mempelajari sebuah keahlian
dan mereka keluar dari rumah
dan mencari nafkah.
Jadi anak laki-laki ini,
dia mengorbankan kebahagiaan pribadinya
dan kebahagiaan saudara-saudara perempuannya
demi menjaga altar kehormatan itu.
Dan ada satu norma lagi
dalam masyarakat patriarkis,
yaitu kepatuhan.
Seorang perempuan baik-baik seharusnya
sangat pendiam, sangat rendah hati
dan sangat penurut.
Itulah kriterianya.
Gadis baik-baik yang jadi panutan seharusnya sangat pendiam.
Dia seharusnya tidak memberi pendapat
dan menerima semua keputusan
ayah dan ibunya
dan keputusan orang-orang yang lebih tua,
meskipun dia tidak menyukainya.
Jika dia dinikahkan dengan laki-laki yang tidak dia sukai
atau dengan laki-laki yang jauh lebih tua,
dia harus menerimanya,
karena dia tidak mau dianggap
sebagai anak durhaka.
Jika dia dinikahkan pada usia sangat muda,
dia harus menerimanya.
Kalau tidak,dia akan disebut anak durhaka.
Dan akhirnya apa yang terjadi?
Seperti digambarkan dalam puisi,
dia menikah, melayani suami,
dan lalu melahirkan lebih banyak anak laki-laki dan perempuan.
Dan ironisnya
adalah bahwa sang ibu baru ini,
dia mengajarkan kepatuhan yang sama
pada anak perempuannya
dan mengajarkan kehormatan yang sama pada anak laki-lakinya.
Dan lingkaran setan ini terus berputar.
Bapak-bapak dan Ibu-ibu,
penderitaan yang dialami jutaan wanita ini
bisa diubah
jika kita mengubah pola pikir,
jika wanita dan pria mengubah pola pikir,
jika wanita dan pria dalam masyarakat tradisional dan patriarkis
di negara-negara berkembang,
jika mereka bisa melanggar beberapa norma tradisional
dalam keluarga dan masyarakat,
jika mereka bisa mengakhiri peraturan yang diskriminatif
dalam sistem di negara mereka,
yang bertentangan dengan hak asasi dasar para wanita.
Saudara-saudari, ketika Malala lahir,
dan untuk pertama kalinya,
dan sungguh,
saya tidak suka bayi yang baru lahir, jujur saja,
tapi waktu saya melihatnya dan menatap matanya,
percayalah kalau saya katakan,
saya merasa sangat terhormat.
Dan jauh sebelum dia lahir,
saya sudah memikirkan namanya,
dan saya mengagumi seorang
pejuang kemerdekaan legendaris dari Afghanistan.
Namanya adalah Malalai dari Maiwand,
dan saya namakan anak perempuan saya dari namanya.
Beberapa hari setelah Malala lahir,
anak perempuan saya lahir,
sepupu saya datang --
dan kebetulan --
dia datang ke rumah saya
dan dia membawa silsilah keluarga,
silsilah keluarga keluarga Yousafzai,
dan waktu saya melihat silsilah keluarga ini,
silsilah ini menelusuri kembali ke nenek moyang kami hingga 300 tahun yang lalu.
Tapi waktu saya lihat, semuanya laki-laki,
lalu saya ambil pulpen saya,
saya gambar garis di bawah nama saya,
dan saya tulis, "Malala."
Dan ketika dia tumbuh besar,
waktu dia berumur empat setengah tahun,
saya menerimanya di sekolah saya.
Anda akan bertanya, kenapa saya perlu menyinggung tentang
memasukkan anak perempuan ke sekolah?
Ya, saya perlu menyinggung hal itu.
Itu mungkin dianggap sudah semestinya di Kanada,
di Amerika, di banyak negara maju lainnya,
tapi di negara-negara miskin,
pada masyarakat patriarkis, dalam masyarakat tradisional,
ini merupakan peristiwa besar dalam kehidupan anak perempuan.
Diterima bersekolah berarti
pengakuan atas identitas dan namanya.
Diterima bersekolah berarti
dia telah memasuki dunia yang penuh harapan
dan cita-cita
dimana dia bisa menemukan potensinya
untuk masa depannya.
Saya punya lima saudara perempuan,
dan tidak satupun dari mereka bisa bersekolah,
dan Anda akan heran,
ketika dua minggu yang lalu
saya sedang mengisi formulir visa untuk ke Kanada,
dan saya mengisi formulir pada bagian keluarga,
saya tidak ingat
nama keluarga dari beberapa saudara perempuan saya.
Dan alasannya adalah
saya tidak pernah melihat nama
saudara-saudara perempuan saya tertulis di dokumen apa pun.
Itulah kenapa
saya menghargai anak perempuan saya.
Apa yang ayah saya tidak dapat berikan kepada saudara-saudara perempuan saya
dan kepada anak-anak perempuannya,
saya pikir saya harus mengubahnya.
Saya selalu menghargai kecerdasan
dan kepandaian anak perempuan saya.
Saya mendorongnya untuk duduk bersama saya
waktu teman-teman saya berkunjung.
Saya mendorongnya untuk pergi dengan saya ke berbagai rapat.
Dan saya mencoba untuk menanamkan nilai-nilai yang baik ini,
dalam kepribadiannya.
Dan tidak hanya dia, tidak hanya Malala.
Saya menanamkan nilai-nilai positif ini
di sekolah saya, pada siswa perempuan dan juga siswa laki-laki.
Saya menggunakan pendidikan untuk emansipasi.
Saya mengajar anak-anak perempuan saya,
saya mengajarkan siswa perempuan saya,
untuk melupakan ajaran kepatuhan yang mereka terima.
Saya mengajar siswa laki-laki saya
untuk melupakan ajaran kehormatan palsu.
Saudara dan saudari,
kita memperjuangkan hak-hak perempuan,
dan kita memperjuangkan untuk mendapatkan
lebih banyak tempat bagi wanita dalam masyarakat.
Tapi kita menemui fenomena baru.
Fenomena yang berbahaya bagi hak asasi manusia
dan khususnya bagi hak-hak perempuan.
Fenomena itu adalah Talibanisasi.
Yang berarti penolakan mentah-mentah
terhadap partisipasi wanita
dalam semua bidang politik, ekonomi dan sosial.
Ratusan sekolah dirusak.
Anak-anak perempuan dilarang bersekolah.
Perempuan dipaksa memakai kerudung bercadar
dan mereka dilarang pergi ke pasar.
Para musisi dilarang memainkan musik,
anak-anak perempuan dicambuk
dan para penyanyi dibunuh.
Jutaan orang menderita,
tapi hanya sedikit yang bersuara,
dan itu adalah hal yang paling menakutkan
ketika Anda berada disekitar orang-orang seperti mereka
yang membunuh dan mencambuk,
dan Anda membela hak-hak Anda.
Benar-benar hal yang paling menakutkan.
Pada usia 10 tahun,
Malala bersuara untuk membela hak
memperoleh pendidikan.
Dia menulis buku harian untuk blog BBC,
dia menjadi sukarelawan
untuk dokumentasi New York Times,
dan dia berbicara melalui berbagai media.
Dan suaranya sangat kuat.
Suaranya menyebar luas dan nyaring di seluruh dunia.
Dan itulah mengapa Taliban
tidak bisa mentolerir kampanye yang dilakukannya,
dan pada tanggal 9 Oktober 2012,
dia ditembak di kepala dari jarak dekat.
Hari itu adalah kiamat bagi saya dan keluarga kami.
Dunia berubah menjadi lubang besar yang gelap gulita.
Ketika anak perempuan saya
di ambang hidup dan mati,
saya berbisik ke telinga istri saya,
"Apakah salah saya atas apa
yang menimpa anak perempuan kita?"
Dan dia tiba-tiba berkata,
"Tolong jangan salahkan dirimu.
Kamu membela kebenaran.
Kamu mempertaruhkan nyawamu
demi suatu kebenaran,
demi perdamaian,
dan demi pendidikan,
anak perempuan kita terinspirasi darimu
dan dia mengikutimu.
Kalian berdua ada di jalan yang benar
dan Tuhan akan melindunginya."
Kata-kata ini sangat berarti bagi saya,
dan saya tidak menanyakan pertanyaan ini lagi.
Ketika Malala di rumah sakit,
dan dia mengalami rasa sakit yang sangat parah
dan dia mengalami sakit kepala yang sangat parah
karena saraf wajahnya putus,
saya melihat kegalauan
di wajah istri saya.
Tapi anak perempuan saya tidak pernah mengeluh.
Dia berkata kepada kami,
"Saya tidak apa-apa kalau senyum saya miring
dan wajah saya mati rasa.
Saya akan baik-baik saja. Jangan khawatir."
Dia adalah pelipur lara kami,
dan dia menghibur kami.
Saudara-saudari,
kami belajar dari Malala bagaimana untuk tetap tabah
pada saat yang paling sulit,
dan saya senang untuk mengatakan pada Anda sekalian
bahwa meski Malala menjadi sebuah simbol
pejuang hak-hak anak-anak dan perempuan,
dia sama seperti anak perempuan usia 16 tahun lainnya.
Dia menangis waktu tugas sekolahnya tidak selesai.
Dia bertengkar dengan saudara laki-lakinya,
dan saya senang akan hal itu.
Orang-orang bertanya kepada saya,
apa yang istimewa dari didikan saya
yang membuat Malala begitu tegas,
berani berpendapat dan percaya diri?
Saya menjawab, jangan tanya apa yang saya lakukan.
Tanya saya apa yang tidak saya lakukan.
Saya tidak memotong sayapnya, dan itu saja.
Terima kasih banyak.
(Tepuk tangan)
Terima kasih. Terima kasih banyak. Terima kasih. (Tepuk tangan)